Menguji Perempuan (Part 1), Perempuan Harus Sadar Dulu
Ketika hendak menulis ini, saya jadi teringat Fritjof Capra, fisikawan Amerika kelahiran Austria, yang ahli ekologi mendalam. Saya rasa beliau juga pendukung deep ecology theory - sebuah teori sosiologi lingkungan yang betul menghormati seluruh komunitas alam sebagai makhluk hidup.
Saya bukan ingin fokus pada ekologi, namun bagaimana Fritjof menggagas adanya ecoliteracy atau melek ekologi (Keraf 2013). Paham ini bisa di kata meninggikan ilmu sebelum berbuat sesuatu. Kalau versi orang jawa, “awakmu kudu pinter disik sedurunge ngajar”. Begitu pula ecoliteracy memandang bahwa manusia harus tahu dulu tentang seluk beluk lingkungan, baru mereka dapat mencari cara untuk melestarikan. Karena dewasa ini, tantangan bagi alam adalah lingkungan yang berkelanjutan. And, dalam perkembangannya, ecoliteracy berkembang pesat, bahkan Pak Fritjof Capra dinobatkan menjadi direktur Pendiri Center for Ecoliteracy di Berkeley, California.
Baik. Masalah ecoliteracy itu bagian dari analogi saja.
Dalam telusur artikel ini, saya hanya ingin mengulas sedikit
perihal menguji perempuan (part 1). Seorang
perempuan harus menyadari bahwa dirinya perempuan secara hakiki, dan segala problem apa yang
dialaminya sebagai perempuan.
I mean, kita berbicara dalam ranah
gender, karena belakangan ini memang sudah gencar ditulis, didiskusikan dan
dipublikasikan tentang perempuan. Hanya saja masih sedikit yang membaca,
mengikuti dan turut aktif membahasnya. I mean, hanya golongan
intelektual saja yang nampaknya “menyelam” lebih dalam. Jadi, sebelum perempuan
bersikukuh memperjuangkan gender, mereka harus sadar dulu ketidakadilan itu
terletak disebelah mana dan bagian apa.
Women and Marriage
Dewasa ini, di era digitalisasi masih banyak perspektif tradisional
menyoal gender. Perempuan, khususnya masyarakat desa sering menjadi objek
ketidakadilan gender itu sendiri. Banyaknya perspektif wanita harus menikah
dini/ lebih awal menjadikan marginalisasi jadi daya tarik masyarakat. Selalu
saja perempuan yang menjadi objek untuk dibicarakan, sedang sebagai subjek,
perempuan masih menempati urutan kedua dibanding laki-laki. Artinya, lelaki masih
menjadi superior dalam tatanan masyarakat. Maka dari itu, perempuan adalah
makhluk yang menempati posisi setelah laki laki, katanya.
Perempuan selalu terstigma untuk sesuai dengan keinginan masyarakat
sehingga mengamini bahwa terlahir sebagai perempuan adalah sebuah kesalahan.
Karena toh, mereka tidak akan banyak dianggap, tidak didengar
dan tidak dapat berekspresi dengan bebas dibanding laki-laki. Jika ada yang
berbeda dengan kehendak dan tradisi masyarakat, maka perempuan akan digunjing
atau mendapat sanksi sosial yang berdampak pada kondisi psikologisnya. Stigma
-sitgma tersebut tentunya harus disingkirkan dengan tegas dalam tatanan
masyarakat, agar tidak terjadi toxic gender.
Perempuan yang masih muda diorientasikan cepat menikah karena
dikhawatirkan menjadi beban keluarga, terutama bagi keluarga yang memiliki
kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Perspektif bias gender tersebut selayaknya
ditinggalkan karena di era globalisasi ini, perempuan di beri kebebasan untuk
berekspresi melalui pendidikan, ekonomi, sosial budaya maupun forum lain.
Karena ketika sudah menikah perempuan banyak terbatasi aksesnya dengan dalih
mengurus anak, menyelesaikan pekerjaan rumah maupun aktivitas dalam rumah
tangga lainnya. Pernikahan dini justru berpotensi menimbulkan permasalah lain,
seperti broken home yang berujung pada perceraian.Dampaknya
berpengaruh bagi psikologis anak. Apalagi ketika pernikahan dini tidak
didahului dengan edukasi pranikah, maka pasangan sulit mengetahui hak-hak dan
kewajiban dalam kehidupan rumah tangga.
Women and Education
Perempuan ketika berpendidikan diorientasikan agar cepat selesai lalu menikah, karena dikhawatirkan lelaki tidak berani mendekati perempuan yang berpendidikan terlalu tinggi. Banyak pria yang berasumsi semakin tinggi pendidikan perempuan maka semakin tinggi daya saingnya. Perspektif tersebut harus ditinggalkan, bahwa seharusnya semakin tinggi pendidikan perempuan, maka ia akan semakin tinggi tingkat toleransi atau menghargai terhadap perempuan, sebagaimana yang ditulis oleh Moh Salapudin, yang saat ini konsen di Female Ulama’. Layaknya padi, yang semakin berisi semakin merunduk, dan bukan makin tegak/ menyombongkan diri bahkan berusaha menyaingi pasangannya.
Pendidikan bagi perempuan tampaknya juga masih menjadi tabu. Sebagaimana warisan intelektualitas dari Erasmus Sunderly, bahwa perempuan akan menjadi istri tanpa perlu tergoda pengetahuan, seolah membenarkan konspirasi antara evolusi dengan takdir bukan karena bentukan agama dan budaya.
Sebagai perempuan, saya juga merasa ada perbedaan mendasar. Antar sesama perempuan saja banyak perbedaannya, apalagi ketika sudah membicarakan perbedaan jenis kelamin. Perbedaan dari sisi hati, dhohir wa bathin tentu sangat mencolok. Namun hal itu bukan lantas menjadi pembeda antara kita. Tolak ukur di hadapan Tuhan tetaplah siapa yang paling bertaqwa, karena hakikatnya kita sebagai makhluk yang bernama manusia (QS. Al-Hujurat: 13).
"So, women and men have the same position in education and marriage. They have the right to choose their life path".
Mahasiswa Prodi Pendidikan Biologi
UIN Walisongo Semarang
Comments
Post a Comment